Karya : Ariska Endah Pratiwi (Ketua Divisi Sastra 2016)
Senin
pagi, desir-desir angin mengipasi udara Malang. Sejuk, dengan rimbun pohon
hijau dan gesekan sapu tukang kebun yang mengayunkan nada pada daun-daun yang
berguguran. Sendiri, aku mengetik tulisan ini sendirian, tanpa kawan, tanpa
makanan, tanpa minuman. Hening, tepat ketika jarum jamku menunjuk angka
delapan, aku hilang dalam keheninganku sendiri.
“Mengapa
aku disini?” tanyaku pada papan keyboard yang kutunggangi. “Untuk apa aku
disini?” tanyaku pada hening yang memuakkan. Aku haus, kurogoh tas ransel
abu-abu yang baru dibelikan ibuku satu minggu lalu. Kuambil sebotol air putih
pada wadah orange dan kutenggak. Tetapi kerongkonganku tetap kering dan sakit.
Aku baru sadar udara sejuk ini menipuku, karena pada kenyataannya aku tak
sesejuk pohon maupun tiupan angin. Aku gersang dan terlalu banyak pertanyaan
yang menyembul bagai sulur di atas otakku, mematikan aku untuk berpikir yang
membahagiakan.
Tadi
malam, aku mimpi aneh sekali. Aku mimpi ada di sebuah sekolah dasar. Sekolah
itu aku pikir ada di tempat yang jauh, tanpa fasilitas, tanpa motivasi, dan
tanpa gairah pendidikan. Lalu aku terlempar pada sebuah kelas dengan teriakan
anak-anak yang beradu mulut, bernyanyi, memecah dinding-dinding kelasnya
sendiri. “Aku ingat kelas ini,” pikirku dalam hati. Sekitar sepuluh tahun yang
lalu aku juga ada di kelas ini. Sama seperti waktu itu, aku juga mendengar
teriakan gaduh dan pekik rewel. Sama seperti waktu itu, aku melihat anak-anak
berlarian, membawa sapu dan tongkat saling kejar-kejaran. Sama seperti waktu
itu, aku juga melihat anak yang tekun belajar atau berbicara alakadar dengan
teman sepermainan. “Lalu dimana aku?” Aku tak bisa melihat diriku yang duduk di
kursi kecil memperhatikan. Padahal yang kutahu dulu aku ada di salah satu
kursi, dilarang bergerak karena habis operasi. Aku tak bisa menemukan diriku,
karena suara gaduh kelas dan anak yang berlarian mengaburkan konsentrasiku. Aku
malah disapa oleh seorang guru setengah baya agak gemuk yang menepuk pundakku,
“ya beginilah kondisinya mbak,” katanya padaku mencoba menguatkan hatiku. Aku
menunduk menatap jas almamater biru tua yang kukenakan. Sebentar kuraba jas
yang aku dapatkan dua tahun lalu itu. Ada aliran listrik statis yang merambati
telapak tanganku memberiku senyuman yang mengalir di guratan tanganku. Aku
menatap ibu guru itu dan tersenyum, “mungkin ini sudah jalanku.”
Ibu
itu mengayunkan tangannya membawaku keluar dari kegaduhan. Di luar gaduh itu
aku masih saja melihat anak-anak berlarian dan suara gaduh yang tak habis.
Matahari siang yang suram jatuh pada lantai paving menari-nari. Semakin aku
memperhatikan tarian sinar matahari dan gelak tawa anak-anak yang berlarian
kepalaku jadi pusing. Ada sesuatu yang menekan paru-paruku hingga aku sesak
nafas dan jantungku tak optimal memompa darah ke otakku. Aku ingin muntah.
“Ya
beginilah kondisinya Mbak,” kata bu guru itu kedua kalinya sambil menunjukkan
aku bangunan roboh yang berlumut, ada bongkahan material yang tak diperhatikan
dan karatan dimakan hujan. Aku ingin menangis dan kuhela nafasku agar tangisku
tak tumpah di tempat asing ini.
Aku
ingin bertanya padanya mengapa beliau bisa mengajar pada kondisi seperti ini,
bagaimana beliau bisa mengajar tanpa LCD, buku-buku, dan media. Kenapa aku
hanya bisa melihat buku lusuh anak-anak dan sebidang papan tulis hitam yang tak
hitam lagi karena sering ditulisi dan digosok. Kenapa anak-anak itu begitu
gaduh dan suka berlarian, mengapa mereka tak mau diam dan belajar. Mengapa
mereka tidak sadar bahwa negaraku butuh penerus yang mau berjuang, bukan
bermain kejar-kejaran.
“Anak
sekolah dasar itu masih ada dalam tahap pra operasional dan operasional kongkrit
menurut teori Piaget, mereka masih suka bermain,” bisik dosenku di kejauhan. Lalu
memoriku dihantam sebuah foto yang menampakkan remaja laki-laki dan perempuan
di atas ranjang, telanjang, dengan selimut menutupi separuh badan. Aku bertanya
pada internet yang membawa berita itu padaku, “apakah ranjang juga sudah jadi
wahana bermain anak-anak sekolah dasar?”
Saat
kepalaku tak lagi berdenging aku melihat anak-anak yang tak punya sopan santun
pada gurunya, ngelamak. Mereka berani
meleti gurunnya, membantah dan mereka
tak punya rasa bersalah. Oh Tuhan, aku menunduk lagi dan mendapati kaki dan
tanganku yang bergetar ketakutan.
“Mbak?”
panggil bu guru yang tak kutahu namanya.
“Iya
bu,” jawabku dengan kaget.
“Mbak
bisa mengontrol mereka?” tanyanya dengan nada rendah.
Aku
hening sejenak, “Insya Allah bu,” kataku.
“Tanpa
dampingan saya?” tanyanya lagi.
Hening
lagi, “Insya Allah bu, nanti rencananya ada teman saya yang juga akan membantu
saya,”
“Baiklah
kalau begitu, saya antar Mbaknya ke kelas yang tadi.”
Ibu
itu merangkulku dan membawaku ke kelas yang beberapa waktu lalu kutinggalkan.
Ada rasa berat yang menahan kakiku berjalan, semakin aku mencoba menarik kakiku
udara dalam paru-paruku habis dan aku kehilangan nafasku sendiri.
***
Mimpi
itu pada akhirnya tak membawaku kembali ke kelas itu. Tapi memberiku lebih
banyak pertanyaan. Pertanyaan yang membuatku tak sejuk di tengah pagi yang
cerah dengan angin sepoi ini. Pertanyaan itu adalah “sudah benarkah keputusanku
untuk mendidik anak-anak orang yang dipercayakan padaku?” Matahari memberi efek
emas pada daun-daun pepohonan. Aku berhenti menekan tombol keyboardku menghela
nafas lebih dalam.
Komentar
Posting Komentar