Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2019

Caption Lomba Puisi Nasional

🎉 *LOMBA PUISI NASIONAL 2019* 🎉 [UNTUK MAHASISWA AKTIF PTN/PTS SE INDONESIA] . Hai Mahasiswa Indonesia! Mahasiswa Peneliti dan Penulis Produktif (MP3) Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Universitas Negeri Malang (UM) akan mengadakan lomba cipta puisi tingkat nasional 2019 untuk mahasiswa aktif PTN/PTS se Indonesia. 📝Tema : “Generasi Pena di Era Milenial” . 📌  Pendaftaran Gelombang 1 : 💸Biaya Pendaftaran: 20k / karya 📆26 Agustus-7 September 2019 🏠Via Online (mp3fip15@gmail.com) Gelombang 2 : 💸Biaya Pendaftaran : 25k / karya 📆8 September-20 September 2019 🏠Via Online (mp3fip15@gmail.com) 📍 Penjurian Lomba 📆 21-25 September 2019 🏠Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang 📍 Pengumuman Grand Finalis 10 besar* 📆 25 September 2019 🏠Via Online (Website dan media sosial MP3) 📍 Pengiriman video Grand Finalis 10 besar 📆 26-27 September 2019 🏠Via Online (mp3fip15@gmail.com) 📍 Grand Finalis 10 Besar & Pengumuman Juara 1,2, Dan 3 📆 28 S

PANDUAN LOMBA PUISI NASIONAL 2019 MP3 FIP UM

A. Tema Tema: “Generasi Pena di Era Milenial”. Tema ini dibuat berdasarkan pertimbangan agar mahasiswa mampu menciptakan kreativitasnya melalui karya puisi di zaman milenial ini. Sehingga karya yang di ciptakan sesuai dengan generasi milenial dengan kota kasa bahasa dan budaya yang semakin beragam dapat mengembangkan ide dan imajinasi dalam penulisan karya saat mengikuti lomba puisi ini. B. Deadline Lomba 1. Pendaftaran Peserta: Gelombang 1 Tanggal : 26 Agustus-7 September 2019 Tempat : Via Online (mp3fip15@gmail.com) Gelombang 2 Tanggal : 8 September-20 September 2019 Tempat : Via Online (mp3fip15@gmail.com) C. Penjurian Lomba: Tanggal : 21-25 September 2019 Tempat :Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang 1. Pengumuman Grand Finalis 10 besar: Tanggal : 25 September 2019 Tempat : Via Online (Website dan media sosial MP3) 2. Pengiriman video Grand Finalis 10 besar: Tanggal : 26-27 September 2019 Tempat : Via Online (mp3fip15@gmail.com) 3.

Tangis Merah-Putih

Selayar merah berkibar dalam kobar Membentang putih teriring suci Getar dua tangan menggenggam Tonggak kokoh penegak merah-putih Dalam Rahmat berbalut hikmat Menetes peluh akan kesah yang mengabad Bersama teriakkan senandung kemenangan Atas kemerdekaan yang telah  lama dirindukan Tanah moyangku yang subur Begitu sulit menjadi tegap dalam pijakan diatasmu Penuh juang dan korban Teriring tangis pada luka yang terhunus senapan Kala itu, mati adalah prestasi Hingga berbondong menggadaikan nyawa adalah biasa Demi satu tujuan mulia Mengikis tangis diwajah generasi muda Proklamasi berkumandang dari pagi hingga petang Semarak haru akan pengorbanan yang terbayar Dalam hingar bingar harapan akan masa depan Bersama do'a bagi  generasi yang telah lama diperjuangkan Lantas kini,  bagaimana nasib generasi yang telah diperjuangkan itu? Yang sejenak berdiri menghadap terik berlatar merah-putih saja tak mau Yang mengaku nasionalis, namun hanya gemar berucap lewat ketikan

Hari Merdeka Indonesia

Hari ini adalah Hari-hari yang dinantikan Oleh seluruh bangsa Indonesia           Bangsa Indoneisa merayakan           Hari merdeka seluruh           Rakyat Indonesia mampu           Mengusir penjajah di Indonesia Setiap tahun seluruh rakyat Indonesia Mengadakan hari merdeka Indoneisa Bertepatan tanggal 17 Agustus Jua hari lahir bangsa Indonesia Dari anak Sekolah Dasar hingga kuliah Melaksanakn upacara bendera setiap tanggal 17 Agustus Saya mengucapkan selamat hari merdeka Indonesia Terima kasih kepada pahlawan dan seluruh rakyat Indonesia Berjuang untuk merebut kemerdekaan Indonesia Malang, 17 Agustus 2019 By : Diajeng Sekar Ayu Febriani Anggota Divisi Sastra MP3 FIP UM

Sehati Sejiwa

Merah dan putih telah menjadi jiwaku Setiap langkahku selalu mengiringi perjalanku Merah telah mengalir dari ujung rambut hingga ujung kakiku Kemanapun saya pergi, tanah air ini akan selalu melekat dijiwaku Karena kami satu jiwa satu hati Walau esok hari aku tak menapak di bumi pertiwi Ketahuilah jiwaku tetap disana Saya akan tetap membelamu sampai mati Walau mungkin raga ini tak seperti dulu lagi Puisi Oleh : Kristi Susanti Bendahara Umum MP3

74 Tahun Negara ku

Merdeka 74 tahun Negera Indonesia merdeka Garuda lambang negara tercinta Menyatukan segala perbedaan Dengan semboyan brineka tunggal Ika Tabir yang lalu Sebelum bendera merah putih berkibar Dengan segenap darah dan jiwa Para pahlawan itu berjuang Untuk kebebasan negera ini Tepat 17 agustus Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Dengan suara lantangnya Bangsa ini bersuka ria Merayakan kemerdekaan Dan tepat hari ini Kita bisa ada disini Merayakan 74 tahun Menjadi negera yang merdeka Dari Sabang sampai Merauke Puisi oleh : Dini Rosyada Kepala Divisi Sastra MP3 FIP UM

Sampai Kapan ?

Suara-suara bising terus bersahutan Saling menyuarakan akan kebenaran Saling meronta, menuduh dan menjatuhkan Tak tau mana yang benar Semua seakan menginginkan kemenangan Dunia semakin bimbang Antara iba dan marah, kini tak ada bedanya Suara yang kuat, teriak menghina Suara yang lemah, menjerit menangis Saat ditanya, itu siapa?? Mereka berlomba-lomba sembunyi dibalik mulut besarnya Kini, satu katapun dapat mengalihkan dunia Entah benar atau salah Semua sama saja Mudah tertipu dalam raut-raut palsu yang mendominasi Kini, Sedikit saja api yang menyala pada ujung tombak Namun mampu menyulut empati dan emosi Entah palsu atau realita Semua sama saja Tidak ada yang mau mengotori tangan-tangannya untuk menggali kebenaran yang tertimbun di dasar tanah Sampai kapan matamu akan terus menutup? Seolah tak melihat, mereka yang mengemis akan keadilan Sampai kapan mulutmu akan tetap diam membisu? Seolah tak dapat membela, mereka yang difitnah akan dosa penguasa Sampai kap

Hidup

      Papa bilang, hidup itu tidak adil. Yang berpengaruh, kaya, dan berkuasa akan selalu menang. Tak peduli dirimu seperti apa, jika tak punya tiga hal tadi, matilah kamu. Kala itu, aku tidak setuju. Dengan cepat dan tegas kukatakan kalau ucapan Papa terlalu pesimis. Papa hanya mendengus, lalu berkata,       “Lihat saja nanti.” Aku marah, tak terima dengan jawaban Papa yang terkesan sekenanya. Ingin mendapat dukungan Mama, aku malah diberi senyum hampa. Ingin menyuarakan rasa tidak suka terhadap respon Mama, terurung karena Papa tiba-tiba mengacak rambutku. Jadilah aku diam saja, tak jadi menyuarakan pikiran. Namun, dalam hati aku tetap meyakini kalau ucapan Papaku tidak benar. . .       Hidup itu tidak adil. Dulu, aku menentang pernyataan tersebut. Keyakinanku bahwa hidup itu adil begitu kuat. Sekarang, seiring berjalannya waktu, keyakinanku tersebut luntur. Papa benar. Hidup itu tidak adil. Tidak perlu pakai alat dan melakukan apa pun untuk membuktikan pernyataan tersebut.

Kamu

Kamu iya kamu Apa kamu tahu Perasaan dia iya dia Dia orang yang Kamu sakiti, kamu lukai Padahal dia tak pernah Mengganggu kamu Namun mengapa kamu Membuat dia usah nyaman Tahu apa kamu tentang dia Tolong sebelum bertindak Pikirkan akibat dari yang Kamu lakukan kepada dia Bisa saja dia mengalami Trauma membuat dia takut Sekali lagi tolong ingat ini Berpikir dahulu sebelum bertindak Agar kau tiada menyesal di kemudian hari Bayangkan jika kamu di posisi dia Apa kamu akan sekuat dia Tolong bila kamu Ada hal kamu benci ke dia Bisa bicara dengan baik-baik Jangan langsung dengan main fisik Belum tentu trauma dia Sembuh dengan cepat Beritahu dia pasti Akan merubah ke arah baik Seperti keinginanmu iya kamu Malang, 13 April 2019 Oleh : Diajeng Sekar Ayu Febriani Anggota Divisi Sastra MP3 Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang

Pincang

Jerit Tangis Aungan Menggema di negeri ini Tapi hanya segelintir orang yang mendengar Mengapa? Padahal Gendang telinga saudara ada dua Tapi mengapa Saudara menegok pun tak pernah Kau berjalan dengan sinisnya Tatapan mata Yang menggerutkan hati Meruntuhkan segala sesuatu Yang telah terpatri Di bumi pertiwi Malang, 14 April 2019 Nur Fitriya Anggota Divisi Sastra MP3

Singkong

Perutnya meronta-ronta Tubuhnya yang sudah tua renta Tak lagi kuat bekerja Tak ada seperserpun uang di dompetnya Sebuah singkong yang ia petik Dari kebun tuk mengganjal perutnya Di depan teras rumah Polisi dan warga datang Tiba-tiba ia diseret Dia kaget Dia menangis Dia meronta Dia dibawa tuk diadili Mencuri sebuah singkong Tak adakah rasa iba Tak adakah rasa kasihan Tak adakah rasa ikhlas Dia hanya mencuri singkongmu Dia bukan koruptor Dia adalah ibumu Tak ingatkan dulu Dia yang membesarkanmu Lalu kau telantarkan kelaparan Dan kau tega mengadili Hanya sebuah singkong Puisi Karya : Dini Rosyada Mahmud Ketua Divisi Sastra MP3 FIP UM