Penulis : Khoirul Muttaqin (PLS FIP 2015)
Udara yang segar hujan yang indah
bulan yang telah berlalu. Secuil mentari terlihat anggun dibalik gunung jauh
pertanda hari baru telah datang. Kupu-kupu dan kumbang mulai menampakkan
dirinya di antara bunga-bunga melati kesukaanku. Bulan ini berbeda dengan bulan
yang telah berlalu. Nyanyian ketidak cocokan terus mengalir dalam benakku.
Hari-hari ini.
Beberapa hari suara klakson aneh
itu terdengar terus di telinga. Pagi siang malam suaranya tak kunjung reda.
Kenapa yang hanya suara seperti itu saja bisa menggema ke berbagai sudut
ruanganku, televisi radio dan dunia maya juga tak henti-hentinya mengeluarkan
suara aneh itu.
“Buku Conscientizacao Tujuan Pendidikan Paulo Freire ini kelihatannya bagus buat dibaca orang-orang latah itu agar sadar
akan keberadaannya. Supaya tidak mudah ikut-ikutan budaya tranding, terseret arus yang enggak jelas yang terlihat bagaikan
tidak memiliki prinsip hidup, karena sukanya hanya ngikut” gumamku dalam hati.
“Ris, setelah kamu baca itu
tolong nanti ibu kamu belikan minyak goreng di toko Pak Anwar ya sekalian minta
daun jeruk di rumah Bu Dewi. Ibu bakal buat rawon kesukaan bapak kamu lagi”
hampir kaget aku dibuat, mungkin terlalu lama aku melamunkan suara aneh itu.
“iya Bu, nanti saja ya, lagian juga masih hujan di luar
sana”
Sejak kecil aku hidup hanya
berdua dengan ibuku. Sosok yang lembut
dan pekerja keras demi keluarga yang ia cintai. Dulunya aku sangat manja dirumah,
aku hanya akan mau makan kalau lauknya ayam kesukaanku. Namun kini umurku
hampir dua puluh tahun, sudah saatnya mencari pekerjaan untuk hidup kedepan
agar ibu tidak terlalu lelah
membiayaiku. Oh ya, almarhum ayahku adalah lelaki yang hebat. Ia selalu
menjagaku ketika aku ketakutan di malam hari. Tapi sayang, nyawanya hilang
ketika sekawanan perampok datang ke desa kami. Namun meski begitu aku dan ibu
tetap menyayanginya, dari lubuk hati yang paling dalam.
Dalam benakku sejak tadi masih terus berpikir akan kehidupan yang aku
jalani. Tentang sulitnya hidup juga tetang mereka-mereka yang ingin di
perhatikan sehingga melakukan berbagai upaya yang menurutku tidak begitu
memiliki manfaat. Bagiku, bisa menuntut ilmu hingga kuliah sudah merupakan
karunia terbesar dalam hidup ini. Tidak perlu harus bergaya-gaya maupun terlalu
mengikuti tranding sehingga malah
buang-buang waktu dan biaya.
Saat ini terlalu bayak orang yang
sukanya hanya bersenang-senang dan tidak peduli dengan orang lain. Padahal jika
ditelusuri masih banyak orang-orang yang membutuhkan bantuan, mereka
orang-orang tua yang miskin kesulitan untuk mebeli makan, atau membantu mereka
yang bisa makan tapi tidak kuat menyekolahkan anaknya.
Antara makan dan tidak makan
bukan kenyang dan tidak kenyang. Desa
pedalaman dengan aksesibilitas yang sulit sehingga modernisasi dan pendidikan
terasa lamban disini. Berbeda dengan tempatku kuliah di Kediri. Deruan motor
yang bersahutan juga suara ramai yang keluar
dari orang-orang yang berkumpul bersenda gurau terasa tak ada hentinya
membicarakan hal-hal yang tidak akan kudengar jika aku berada di desa asalku.
* * *
“Dunia sudah mau hancur San, lihatlah
hampir semuanya meniru suara klakson bus itu. Dari sepeda motor model matic sampai roda empat pengantar
barang selalu saja ada yang menirunya. Malahan Andi kemarin mendengar suara
seperti itu dari truk pengangkut” dengan kesal ku keluarkan semua dari dalam
benakku daripada mengumpul dan jadi penyakit, pikirku.
“Sudahlah Ris, biarkan saja
mereka. Jangan hanya gara-gara hal seperti itu membuatmu emosi, atau
jangan-jangan kau iri dengan mereka karena mereka punya uang banyak sehingga
mereka bisa memodifikasi klaksonnya”. Balas Ihsan dengan sinis menatapku.
“tapi daripada dibuat main-main
seperti itu mending untuk orang lain yang membutuhkan kan San!”. Aku benci dan
sangat benci orang-orang latah seperti itu. Dulu saat joget ala Gangnam Style terlihat bagus semua pada
ikut-ikutan, lalu herlemshake juga seperti itu, tambah lagi Ice Bucket lalu Mannequin Challenge dan sekarang suara ga jelas ini. Apa tidak bisa uangnya ditabung
saja bakal dibuat masa depan daripada dihambur-hamburkan.
“Ariska Endah!.. Ariska Endah
ayam penyet banyuwangi!”. Teriak pelayan warung makan pertanda makanan sudah
siap untuk disantap.
Aku dan Ihsan sangat sering makan
di warung ini. Selain ornamen yang terlihat indah tempat ini tempat kenangan kami berdua. Kami biasa
duduk di pojok depan bagian kanan, dari sini dapat melihat arah jalanan.
Jalanan selalu terlihat dinamis sehingga orang tidak akan bosan melihatnya dan
itu juga alasan kami selalu memilih tempat sebelah sini. Selain itu harga
makanan disini lumayan murah sehingga tidak membutuhkan waktu yang lama untuk
bertemu dengan kami disini lagi.
“yey,.. terimakasih mbaak!”
ucapku berterimakasih karena makanan telah diantar kesini, tepat pukul 17.25
Waktu Indonesia Barat.
Larut menyanding malam cahaya
mentari semakin tertahan. Merunduk mulai menghilang di ufuk barat ujung
pandangan. Hari baru telah pergi menuju malam baru, baru baru dan baru belum
terlihat manfaat hariku tanggal ini, petang sudah mulai mengusirku, waktu tak
bisa diajak kompromi.
Terdengar di luar nan jauh suara
tidak jelas itu terdengar lagi. Suara aneh terbawa budaya aneh bersama
orang-orang aneh. Terseret ombak dibawa angin. Tak bisa berdiri sendiri.
Komentar
Posting Komentar