Papa bilang, hidup itu tidak adil. Yang berpengaruh, kaya, dan berkuasa akan selalu menang. Tak peduli dirimu seperti apa, jika tak punya tiga hal tadi, matilah kamu.
Kala itu, aku tidak setuju. Dengan cepat dan tegas kukatakan kalau ucapan Papa terlalu pesimis. Papa hanya mendengus, lalu berkata,
“Lihat saja nanti.”
Aku marah, tak terima dengan jawaban Papa yang terkesan sekenanya. Ingin mendapat dukungan Mama, aku malah diberi senyum hampa. Ingin menyuarakan rasa tidak suka terhadap respon Mama, terurung karena Papa tiba-tiba mengacak rambutku. Jadilah aku diam saja, tak jadi menyuarakan pikiran.
Namun, dalam hati aku tetap meyakini kalau ucapan Papaku tidak benar.
.
.
Hidup itu tidak adil.
Dulu, aku menentang pernyataan tersebut. Keyakinanku bahwa hidup itu adil begitu kuat. Sekarang, seiring berjalannya waktu, keyakinanku tersebut luntur.
Papa benar. Hidup itu tidak adil. Tidak perlu pakai alat dan melakukan apa pun untuk membuktikan pernyataan tersebut. Cukup lihat dan amati skenario drama kehidupan di sekitar.
Berapa banyak berita maling uang rakyat hingga triliyunan dihukum ringan dan dipenjara berfasilitas mewah, sedangkan maling ayam atau maling sandal dihukum berat dan dipenjara berfasilitas apa adanya? Berapa banyak berita pelecehan seksual yang membuat korban trauma namun tetap disalahkan, sedangkan pelakunya didukung dan melenggang bebas tanpa beban? Berapa banyak berita anak dibawah umur menganiaya orang dewasa hingga luka parah, namun hanya dengan meminta maaf di publik membuat mereka bebas, sedangkan orang dewasa—terutama guru—yang menghukum anak guna memberi efek jera agar tidak melakukan kesalahan yang sama malah dipenjara? Berapa banyak berita penghina lambang dan unsur negara malah dijadikan duta atau hanya meminta maaf maka segala urusan selesai? Berapa banyak berita tentang ketidakadilan di negara ini?
Papa benar. Kuasa, pengaruh, dan uang adalah unsur-unsur penting dalam hidup. Tiga hal tersebut yang akan menentukan nasib manusia selama hidup, terutama jika berhadapan dengan hukum.
Apakah ini akan tetap terjadi? Apakah ini akan terus terjadi? Apakah ini akan menjadi budaya nasional yang akan selalu dilestarikan? Apakah tidak ada harapan yang cerah untuk negara ini? Apakah … apakah….
Hidup itu berat, juga tak adil.
Takkan ada kehidupan manusia yang ringan dan penuh kemudahan serta kelancaran. Seiring berjalannya waktu, mata takkan risih melihat komedi hidup tiap hari. Mulut akan lelah menyumpahi hukum negara yang berat sebelah. Otak akan malas mengingat berapa banyak ketidakadilan di negara. Susu putih sebelangga—jiwa suci manusia—lambat laun menjadi hitam keruh akibat diinvasi nila setitik—realita kehidupan— tiap hari.
Hidup itu lucu, juga tak adil.
Takkan ada perubahan berarti jika tak ada yang bergerak. Semua akan tetap seperti biasa, jika banyak bedebah-bedebah licik memiliki kuasa, pengaruh, dan uang. Takkan ada cahaya harapan ‘tuk menerangi gelapnya dunia hukum negara, jika para pembela keadilan dilenyapkan satu-satu. Takkan ada kemajuan bila bibit-bibit harapan bangsa tidak diakui negara sendiri, sedangkan bibit-bibit hama bangsa malah diakui dan diapresiasi juga dilindungi negara.
Hidup itu tidak adil … ah, tidak. Rasanya kurang tepat. Hidup itu sangat tidak adil. Ini baru lebih tepat.
Meski Tuhan berkata hidup itu adil, pada praktik di kenyataan, hidup itu sangat tidak adil.
Karya: Nazhifa Amirah
Kala itu, aku tidak setuju. Dengan cepat dan tegas kukatakan kalau ucapan Papa terlalu pesimis. Papa hanya mendengus, lalu berkata,
“Lihat saja nanti.”
Aku marah, tak terima dengan jawaban Papa yang terkesan sekenanya. Ingin mendapat dukungan Mama, aku malah diberi senyum hampa. Ingin menyuarakan rasa tidak suka terhadap respon Mama, terurung karena Papa tiba-tiba mengacak rambutku. Jadilah aku diam saja, tak jadi menyuarakan pikiran.
Namun, dalam hati aku tetap meyakini kalau ucapan Papaku tidak benar.
.
.
Hidup itu tidak adil.
Dulu, aku menentang pernyataan tersebut. Keyakinanku bahwa hidup itu adil begitu kuat. Sekarang, seiring berjalannya waktu, keyakinanku tersebut luntur.
Papa benar. Hidup itu tidak adil. Tidak perlu pakai alat dan melakukan apa pun untuk membuktikan pernyataan tersebut. Cukup lihat dan amati skenario drama kehidupan di sekitar.
Berapa banyak berita maling uang rakyat hingga triliyunan dihukum ringan dan dipenjara berfasilitas mewah, sedangkan maling ayam atau maling sandal dihukum berat dan dipenjara berfasilitas apa adanya? Berapa banyak berita pelecehan seksual yang membuat korban trauma namun tetap disalahkan, sedangkan pelakunya didukung dan melenggang bebas tanpa beban? Berapa banyak berita anak dibawah umur menganiaya orang dewasa hingga luka parah, namun hanya dengan meminta maaf di publik membuat mereka bebas, sedangkan orang dewasa—terutama guru—yang menghukum anak guna memberi efek jera agar tidak melakukan kesalahan yang sama malah dipenjara? Berapa banyak berita penghina lambang dan unsur negara malah dijadikan duta atau hanya meminta maaf maka segala urusan selesai? Berapa banyak berita tentang ketidakadilan di negara ini?
Papa benar. Kuasa, pengaruh, dan uang adalah unsur-unsur penting dalam hidup. Tiga hal tersebut yang akan menentukan nasib manusia selama hidup, terutama jika berhadapan dengan hukum.
Apakah ini akan tetap terjadi? Apakah ini akan terus terjadi? Apakah ini akan menjadi budaya nasional yang akan selalu dilestarikan? Apakah tidak ada harapan yang cerah untuk negara ini? Apakah … apakah….
Hidup itu berat, juga tak adil.
Takkan ada kehidupan manusia yang ringan dan penuh kemudahan serta kelancaran. Seiring berjalannya waktu, mata takkan risih melihat komedi hidup tiap hari. Mulut akan lelah menyumpahi hukum negara yang berat sebelah. Otak akan malas mengingat berapa banyak ketidakadilan di negara. Susu putih sebelangga—jiwa suci manusia—lambat laun menjadi hitam keruh akibat diinvasi nila setitik—realita kehidupan— tiap hari.
Hidup itu lucu, juga tak adil.
Takkan ada perubahan berarti jika tak ada yang bergerak. Semua akan tetap seperti biasa, jika banyak bedebah-bedebah licik memiliki kuasa, pengaruh, dan uang. Takkan ada cahaya harapan ‘tuk menerangi gelapnya dunia hukum negara, jika para pembela keadilan dilenyapkan satu-satu. Takkan ada kemajuan bila bibit-bibit harapan bangsa tidak diakui negara sendiri, sedangkan bibit-bibit hama bangsa malah diakui dan diapresiasi juga dilindungi negara.
Hidup itu tidak adil … ah, tidak. Rasanya kurang tepat. Hidup itu sangat tidak adil. Ini baru lebih tepat.
Meski Tuhan berkata hidup itu adil, pada praktik di kenyataan, hidup itu sangat tidak adil.
Karya: Nazhifa Amirah
Anggota Divisi Sastra MP3
Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Malang
Komentar
Posting Komentar