FAIRYTALE DREAM
by: Nur Atika (SMAN 3 Magelang)
Juara III lomba Cerpen Nasional
Juara III lomba Cerpen Nasional
Menjadi
yang lebih baik dari kemarin.
Itulah
yang selalu menjadi motto hidupku. Aku selalu berusaha untuk menjadi lebih
baik, lagi dan lagi. Hal ini telah kulalui semenjak meninggalnya kakakku, Nizar,
tiga tahun yang lalu. Ia selalu membuat masalah di sekolahnya yang akhirnya
membuat orangtuaku harus dipanggil berkali-kali karenanya. Namun malang
baginya, sebelum ia bisa memperbaiki sifatnya itu, ia mengalami kecelakaan yang
merenggut nyawanya.
Aku
tidak ingin menjadi sepertinya, tidak ingin menyesal di kemudian hari. Oleh
karena itu aku akan terus berusaha untuk menjadi yang terbaik, hingga aku dapat
mewujudkan cita-citaku dengan baik suatu saat nanti.
“Rika!
Segera makan sarapanmu!” ujar ibuku dari lantai bawah.
“Baik
Bu.” jawabku sembari menuruni tangga kamarku ke ruang makan.
Usai
memakan sarapanku, aku segera berpamitan dan berlari menuju sekolah. SMA Negeri
3 Bandung, disanalah aku belajar dan menuntut ilmu setiap harinya. Aku duduk
sebangku dengan Tasya. Berbeda denganku, ia adalah anak yang ceroboh dan
pemalas. Meski begitu, ia sangatlah baik sehingga banyak orang yang
menyukainya.
“Hei,
apa kau sudah mengerjakan PR kimia? Jangan bilang kau bahkan belum menyentuh
bukunya sama sekali.” tanyaku kesal karena aku sudah bisa menebak apa yang akan
ia katakan. Sudah kok, kalau cuma
menyentuh bukunya. Kira-kira seperti itu.
“Aku
sudah menyelesaikannya kok. Kalau saja guru kimia itu tidak mengancam nilaiku,
aku pasti tak mau mengerjakannya.” ujarnya dengan wajah cemberut.
Tentu
saja jawaban itu mengagetkanku, mungkin
akan lebih baik kalau ia diancam terus ya... pikirku sambil menahan tawa
yang mulai menumpuk di pipiku.
Diluar
jendela terlihat seorang bocah laki-laki yang sedang berdebat dengan guru BK di
sekolahku. Penampilannya yang acak-acakan itu sekilas mengingatkanku pada
kakakku dulu. Meski begitu aku segera mengabaikannya.
***
Kulihat
daftar siswa berprestasi di papan pengumuman sekolah yang nilainya diambil usai
ulangan akhir semester satu minggu lalu dan masih saja sama. Aku selalu
mendapat rank kedua di sekolah, diatas nama Rika Swastyaputri, selalu saja
kulihat nama itu. Nirwana August Sanjaya. Sampai sekarang aku masih penasaran
dengan pemilik nama itu, mungkin ia anak
jenius, pikirku.
Aku
lalu berjalan menuju perpustakaan untuk melihat buku-buku baru yang ada disana.
Tepat disamping rak buku tersebut, kutemukan sebuah flashdisk berlabelkan “RASTA” ditubuhnya. Karena penasaran, aku pun
membukanya dengan komputer perpustakaan. Isinya berupa materi-materi untuk
kelas XII SMA. Berfikir bahwa flashdisk
itu milik kakak kelas XII, aku pun menyimpannya dan memutuskan untuk
mengembalikannya setelah libur akhir semester gasal.
***
Pagi
itu aku mencari pemilik flashdisk
tersebut ke seluruh kelas XII. Namun percuma saja, aku tidak menemukan seorang
pun yang bernama Rasta. Meski begitu, ada kakak kelas yang mengatakan bahwa
Rasta adalah siswa berandalan kelas XI. Tanpa basa-basi lagi, aku langsung
menuju kelas dan bertanya pada Tasya.
“Tas,
kau tahu siswa bernama Rasta nggak,
dia kelas apa ya?” tanyaku.
“Anak
berandal itu ya? Kau ada perlu apa dengannya? Jangan-jangan kau diam-diam suka
padanya ya?” katanya menggodaku.
“Hah?
Apa maksudmu? Aku hanya ingin mengembalikan barangnya yang kutemukan di perpus
kemarin.” tukasku kesal.
“Begitu
ya, yah sayang sekali ya.... Kurasa dia ada di kelas XI-MIA 3.”
Sepulang sekolah aku langsung
mencari anak itu dikelasnya. Kulihat ia sedang memutar-mutar ballpoint di atas meja. Sambil berjalan
menghampirinya, aku masih bertanya-tanya dibenakku. Kenapa anak ini mempunyai materi kelas XII? Apakah itu penting baginya?
Setelah
sampai didepannya aku pun mengacungkan flashdisk
itu seraya bertanya
“Apakah ini milikmu?” tanyaku dengan
sopan.
“Huh? Ah, ya ini milikku. Jadi kau
menemukannya ya.”
Ia langsung beranjak dan
meninggalkan kelas tanpa menatapku sama sekali. Tentu saja itu membuatku kesal,
tiba-tiba saja aku menyentak padanya.
“Apa kau tidak memiliki tatakrama?!
Bahkan tidak berterimakasih sama sekali!” bentakku.
“Aku tidak suka terlalu dekat dengan
orang karena akan merepotkan nantinya.” ujarnya sambil melengos pelan.
“Pantas saja banyak yang membencimu,
sifatmu berantakan. Kau bahkan dicap tidak sopan dan pembuat onar oleh banyak
orang. Aku yakin kau pasti bisa bersikap lebih baik kalau kau mencobanya. Semua
orang itu baik pada awalnya.”
Kurasa aku terlalu kasar. Tapi entah
apa yang lucu dari kalimatku yang jelas ia tersenyum usai mendengar sindiranku.
Hari demi hari berlalu, dan aku
mulai sering bertemu dengan Rasta, bahkan commuter
line yang kami naiki pun sama. Ia juga mulai melunak padaku, bahkan
terkadang ia menyapaku meski hanya dengan acungan tangan saja.
Bel tanda istirahat berbunyi. Aku
langsung menuju kantin untuk mengisi perutku yang mulai keroncongan. Kulihat
Rasta di ujung kantin sedang menyantap sesuatu. Karena meja lainnya penuh, aku
pun menuju meja Rasta dan duduk didepannya.
“Kalau kau duduk disitu siswa lain
mungkin akan membicarakanmu lho.”
“Biarkan saja, habis meja lain penuh
sih.” jawabku tidak peduli.
“Ngomong-ngomong,
kenapa kau menyimpan materi kelas XII?” tanyaku penasaran karena masih ingat
akan file itu.
“Aku hanya ingin tau saja. Oh ya, aku
belum tahu namamu, kau siapa?”
“Rika.... Rika Swastyaputri.”
“Ah,
jadi kau ya yang selalu mendapat rank dua itu. Kudengar kau populer dikalangan
cowok-cowok. Emang apa bagusnya sih?”
“Daripada
itu, kenapa kau bisa tahu soal rankingku?” tanyaku balik sembari mengabaikan
pertanyaannya yang menyebalkan itu.
“Kau
tidak tahu ya.... Aku yang selalu berada di atas peringkatmu itu. Nama ‘Rasta’ku
itu kupakai untuk menyingkatnya.” jawabnya santai.
“Hah?!”
hampir saja aku tersedak karenanya.
Aku
hanya bisa terkejut karena aku baru menyadarinya. Siapapun pasti tidak akan
percaya jika siswa seperti ini ternyata si jenius misterus itu. Pantas saja ia punya materi kelas XII, kan
udah persiapan, gumamku.
***
Tak
terasa dua bulan telah kulalui. Kulihat anak-anak mulai sibuk belajar untuk persiapan
Ulangan Kenaikan Kelas tiga bulan kedepan. Sementara itu, aku jarang melihat
Rasta akhir-akhir ini, dan Tasya juga mulai heboh akhir-akhir ini.
“Argh...
Aku benci ini! Kenapa harus ada ulangan sih? Kalau saja hidup bisa santai...
Dan lagi, sahabatku ini makin lama makin akrab dengan anak MIA 3, kasihan deh,
dia gak masuk.” ketusnya.
Aku
yakin ejekannya itu pasti karena dia kesal karena ia malas ikut ulangan. Tapi
benar juga perkataannya, entah kenapa rasanya sepi tanpa kehadiran Rasta.
Mungkin karena tidak ada yang bisa kuajak pulang bareng karena Tasya juga berbeda
jalur denganku.
Esoknya,
aku melihat Rasta memasuki gerbang dengan wajah pucat, memang benar aku pernah
melihatnya begini. Tapi baru kali ini ia terlihat sangat pucat. Lalu ia
terdiam, kemudian tak sadarkan diri begitu saja. Tentu saja aku kaget dan
buru-buru menghampirinya. Setelah meminta bantuan dari guru dan petugas PMR,
aku pun diminta untuk menemaninya di UKS.
Aku
sadar bahwa tangannya terasa dingin ketika aku menyentuhnya dan detak
jantungnya terasa lemah. Tak lama kemudian ia terbangun, ia menatapku dan
berkata
“Kenapa
kau ada disini? Bukankah sekarang ada jam pelajaran? Nanti bukannya bisa
menyalipku kau malah tambah merosot lho...”
Aku
benar-benar kesal dengan sifatnya yang tidak bisa membaca situasi, meski begitu
aku tetap menemaninya.
“Yah,
meskipun aku yakin kau bisa menyalipku tidak lama lagi.” sambungnya. Sebelum
aku bisa menjawabnya, ia mengajakku untuk makan di kantin. Dia bilang dia belum
sarapan dan sangat lapar hingga ia pingsan tadi pagi. Tentu saja aku
menurutinya, tapi ada orang-orang yang mencegat kami.
“Hei,
jadi anak ini pacarmu ya? Kudengar kau menghajar temanku sebelum kau kabur dan
tidak masuk begitu saja. Anak ini manis juga ya. Boleh buatku?” ujar murid itu
sambil menarikku. Dia Zaki, murid yang juga suka membuat onar di sekolah.
Bedanya dengan Rasta, dia tidak pintar, malah pernah tidak naik kelas.
“Lepaskan
aku!!” teriakku sambil mencoba kabur dari Zaki.
BUAKGHH!!!
Tiba-tiba
saja Rasta mulai menghajar mereka. Tapi bahkan belum sampai ia dipukul balik,
hidung dan mulutnya mulai berdarah lalu ia terengah-engah. Anak-anak yang
tadinya hendak menghajarnya, heran dengan hal itu lalu kabur begitu saja. Aku
juga mulai curiga dan langsung memanggil ambulan tepat setelah hal itu. Rasta
pun dibawa ke rumah sakit dan aku terpaksa harus meninggalkannya karena pihak
sekolah menahanku untuk ikut.
Ketika
aku menjenguknya, kami berbincang-bincang dan aku mengetahui bahwa ia menderita
thalesemia sejak lama yang membuatnya
harus check tiap minggunya, ia juga
tidak masuk lama karena hal itu. Disaat yang sama aku mulai menyadari bahwa aku
telah jatuh padanya. Aku hanya bisa tersenyum ketika ia memberikan flashdisk-nya sembari berkata “maaf” saat aku hendak pulang. Sampai di rumah aku
hanya bisa menangis sekeras-kerasnya dan menggenggam flashdisk tersebut erat-erat.
Esoknya
aku menemukan surat kecil yang terselip di dalam flashdisk tersebut. Jika saja aku tidak pernah melihat dan membaca
surat tersebut.
Dear Rika,
I’m sorry I can’t tell
you before. That’s not because I don’t want to be close with someone. It’s more
like I can’t do that. Because I will dissappear someday, and I don’t want
someone sad from lossing me... I study grade XII’s lesson because I know that I
can’t get it. Thanks for saying that ‘person can be more kind if they want to
try’, thanks for everythings. And sorry if I can’t be with you, you know that
I’m already loving you.-RASTA
Karena
aku tahu bahwa aku akan kehilangannya. Karena aku tahu bahwa semua orang akan
sendiri. Just like a farytale dream that will dissappear right when I wake up.
Komentar
Posting Komentar