Titipan dari Ayah
by : Winanda Almaluna (SMAN 1 Pare)
Juara I lomba Cerpen Nasional
Malam
mengadu, tentang cintanya kepada purnama. Dilukiskannya dengan elok lekuknya di
tengah malam yang romantis. Dari sudut pandang seorang gadis muda, cinta itu
digenggamnya. Ia tatap lekat - lekat seribu bintang yang terpapar pada gulita.
Berharap ada satu bintang yang bernama ayah, menyapanya.
Amanda
terdiam menatap tubuh ayahnya yang kaku, tak bergerak sama sekali. Ia tak
mengerti mengapa ayah jadi sekaku ini. Dua hari lalu, ayah yang bekerja sebagai
nelayan, nekat pergi saat cuaca mendung pekat seperti akan ada badai yang
datang. Alasannya sederhana. Bagi seorang nelayan miskin di pesisir pantai
popoh, yang terpenting adalah menyekolahkan anak – anaknya sampai tinggi, agar
tak melaut seperti ayahnya. Amanda adalah alasan utama mengapa ayah senekat
itu. “Tinggal selangkah lagi. Kamu harus jadi dokter nduk.” Katanya sebelum
pergi. Amanda terisak dalam diam, tak menyangka.
Sudah
dua hari sejak ayah tak lagi ada bersama ibu dan Amanda, kehidupan keluarga
mereka semakin kacau. Tak ada lagi yang melaut untuk menghidupi keluarga. Tak
ada lagi nasihat – nasihat kehidupan yang menggema dari mulut laki – laki hebat
dalam keluarganya itu.
Sekolah
Amanda pun berantakan pula. Ijazah sekolah menengah atasnya ia tatap dengan
penuh keputusasaan, matanya sayu seperti mengharapkan sesuatu yang pupus.
Pikirannya melayang bersama mimpi – mimpi yang pelan – pelan dilepaskannya.
Harapan untuk tak melaut lagi, untuk tak jadi penjual ikan di pinggir pantai,
untuk bisa ke kota dan menjadi dokter sepertinya tinggalah mimpi. Mimpi panjang
yang tak bisa ia lakukan ketika bangun.
Gadis
muda yang tak pernah terlihat mengeluh itupun bangkit. Tak seorangpun bisa
menghalanginya menjadi seorang dokter, seperti cita – cita ayahnya kala masih
hidup. Sudah setahun ini kerjanya hanya membantu ibunya menjual ikan. Tak ada
harapannya yang besar kecuali menjadi seorang dokter. Ia harus bisa berguna
bagi banyak orang, seperti nasihat ayahnya. Semua serba kata ayahnya. Ia adalah
insan teladan dalam hidup Amanda. Maka, hidup Amanda pun harus menuruti pengarahannya.
Mata
ibu memerah sejak Amanda mulai mengemasi barang – barang berharganya untuk
perbekalan ke Surabaya. Ibu berkali – kali menggebrak meja yang pasrah, tak
mampu melawan. Juga beberapa kali ia menutup pintu kamarnya secara paksa,
padahal engselnya sudah seret. Namun ketika pintuya tak lagi bisa di buka ia
malah berteriak macam anak kucing ketakutan.
“Ijinkan
Manda buat ke Surabaya buk. Manda janji Manda bakal jadi dokter yang hebat,
seperti kepengenane ayah dulu.” Kata manda sambil berlutut di depan kamar
ibunya.
“Ibuk,
mbok jangan diem aja to buk. Manda selak berangkat ini.”
“Kamu
ndak denger kemarin ibu bilang apa ? ibuk mau kamu tetep di sini. Titik.”
“Buk,
ibuk lupa apa pesen bapak? Bapak pengen Manda jadi dokter buk. Itu cita – cita
mulia buk. Manda ke Surabaya bukan buat seneng - seneng bukan. Manda mau
sekolah tinggi buk”
“Kalau
ibuk diem aja, Manda terpaksa pergi buk. Manda pamit Assalamu...” Amanda
menyeka beberapa air matanya yang tumpah.
Duk,
duk, duk. Pintu kamar ibu melantunkan nada keras seperti di pukul – pukul.
Amanda pilu, tak tega meninggalkan wanita yang teramat berarti dalam hidupnya
itu sendirian di rumah kecil di atas pasir, peninggalan ayahnya itu.
“Aaaa..
Amanda jangan pergi nak. Ibu sudah cukup kehilangan ayahmu. Jangan kamu nduk.”
Ia
lemas, terduduk seketika. Gadis muda sang petualang mimpi itu terjebak di
antara dua pilihan jalan. Kakinya seperti terpaku tak mampu menentukan jalan
mana yang harus dipilihnya.
***
Hatinya berdesir kala sosok anggun
yang telah lama dikaguminya itu tiba – tiba menyodorkan senyumnya. Rio tak
henti – hentinya membayangkan sosok Amanda yang ramah dan selalu ceria
sepanjang hari. Teman masa kecilnya itu kini telah berubah menjadi perempuan
maha sempurna di mata Rio. Sudah beberapa kali ia mencoba mendekatinya, namun
sialnya ia tak pernah sudi didekati oleh laki – laki yang tengah menempuh koas
di salah satu rumah sakit di daerahnya itu.
“Mungkin ia malu, atau ia belum siap
untuk menikah.” Pikir Rio sembari membayangkan wajah gemilang pujaan hatinya
itu. Sudah tiga kali lamaran Rio ditolak Amanda. Namun tak sedikitpun rasanya
berkurang untuk gadis secemerlang Amanda.
Bahkan Rio tak menyerah, ia tetap
mengejar Amanda meskipun Amanda naik sepeda ketika pulang mengantar pesanan
ikan ibunya. Ia tak sabar menanti Amanda yang setiap sore dengan kesederhanaan
datang membawa ikan bersama sepeda tua yang setengah berkarat itu.
Ketika senja menyapa laut yang mulai
pasang beradu dengan segelintir pasir di pinggir pantai, Amanda tetap surut
dalam mimpinya yang lambat laun tak bisa ia realisasikan. Sementara, Rio tetap
dalam penantiannya walaupun tak tahu sudah keberapa ribu senja yang ia lalui.
“Kenapa kamu masih saja menolak
lamaranku ? aku sungguh tak main – main soal perasaan ini” Kata Rio sambil
duduk di sebelah Amanda.
“Aku ndak bisa mas. Sudah ku bilang
aku ndak bisa.”
***
Sudah enam tahun ayahnya telah
tiada, kini kamar yang lama tak ia sentuh itu harus benar – benar dibersihkan,
sama pula seperti hatinya. Sungguh, bagi Amanda, kini mimpinya tak penting
lagi. Baginya sudah cukup ia membantu ibunya sepanjang hari. Ia tak bisa
melawan takdir. Namun ia tetap merasa cemburu ketika ada seseorang dari
kampungnya yang memiliki nasib sedikit lebih beruntung dari padanya. Rio, teman
masa kecilnya yang juga kakak kelasnya waktu sekolah itu, benar – benar
membuatnya iri.
Rio adalah satu – satunya pemuda
yang berhasil lulus dari perguruan tinggi negeri ternama dengan gelar dokter
dari kampungnya. Amanda sungguh membenci peringainya. Memang benar ia adalah
dokter yang tampan, tetapi itu takkan bisa membuatnya dengan mudah dimaafkan
atas segala kesalahannya di waktu lampau.
Amanda tertegun setelah membereskan
begitu banyak surat yang tercecer di laci almari tua ayahnya. Ia menangis
seperti tak menyangka bahwa ternyata surat – surat yang selalu ia nantikan
balasannya itu ada di sini. Buru – buru ia berlari ke meraih sepedanya,
mengayuhnya dengan kencang lantas tersungkur dengan tangisnya tergulung –
gulung di pasir.
“Manda, kamu ndak apa – apa?” Dengan
setengah berlari Rio membantu Amanda bangkit dari jatuhnya.
“Sudah, sudah. Jangan nangis. Kenapa
kamu nangis?”
“Maafkan aku mas, aku sudah berfikir
yang tidak – tidak tentangmu.”
“Memangnya berfikiran apa tentangku
hingga membuatmu menangis?”
“Ku pikir kamu hanya main – main
dengan surat – surat yang kamu selipin di jendela kamarku dulu. Suatu hari aku
ndak pernah dapat balasan darimu, sehingga tak pikir ya cuma main – main. Itu
yang membuatku benci sama kamu mas.”
“Aku menemukan banyak surat di laci
ayah. Surat darimu mas.” Tangis Amanda kembali pecah.
“Oalah, tak pikir lak kamu yang
memang ndak suka sama aku. Mangkanya aku berusaha jadi seperti apa yang kamu
pengenin. Surat terakhir balasan darimu masih ku simpan kok.” Kata Rio sambil
menyodorkan selembar kertas usang.
“Apa? Ini.. ini bukan tulisan
tanganku mas. Ini tulisan tangan ayah”
“Jadi selama ini yang nyimpen surat
dariku itu ayah? Juga balasan surat yang terakhir ini juga dari ayah?”
“Iya mas, ayah memang maunya aku
jadi dokter dan fokus belajar. Tapi sekarang malah mas yang jadi dokter. Ya aku
iri keterak kecewa mas.”
“Aku
lo jadi dokter juga karena balesan surat terakhir dari ayahmu ini. Mangkanya
aku ndak pernah menyerah untuk dapetin kamu.”
“Ayahmu
nyuruh aku buat sekolah dulu yang bener kalau aku sudah jadi pak dokter aku
baru boleh ngelamar kamu.”
Seketika
hening membalut kedua insan yang tengah dibuai asmara itu. Sekali lagi, bila
memang benar – benar mereka berjodoh, maka ia takkan gagal lagi. Rio mengeluarkan
kotak kecil yang berisi cincin itu kembali, menawarkan hal yang sama pada gadis
yang sudah digandrunginya selama hampir sepuluh tahun itu.
“Manda,
di tangan ini ada cincin kecil yang belum tahu akan dimiliki oleh siapa kelak.
Sekali lagi aku ingin menawarkan kepadamu, maukah kamu memilikinya? Aku telah
melakukan banyak hal untukmu. Walaupun mimpi dan petuah – petuah dari ayahmu
tak bisa kau jalani, setidaknya aku telah membuktikan kesungguhanku membuat
salah satu mimpi ayahmu jadi nyata.”
Tanpa
aba – aba, Amanda langsung memeluk tubuh laki – laki yang telah berhasil
membuktikan kesungguhannya itu. Laki – laki yang dahulu dibencinya kini berubah
menjadi laki – laki yang paling dicintainya. Tak tanggung – tanggung ayah sudah
merencanakan kehidupan yang mapan baginya. Ayah memang sosok terbaik dalam
hidupnya. Bersama Rio, kini Amanda meniti hidup dengan damai. Juga, Tentunya
dengan segala nasihat – nasihat ayah yang menemani.
Komentar
Posting Komentar