Rein : Titik yang Lama Hilang
by : Alifa Tanzila Meiviana (SMAN 1 Sumber)
Juara II lomba Cerpen Nasional
“Semoga aku akan turun pada peraduanku,
seperti matahari yang kembali di barat,” begitulah katanya. Re, wanita
berprinsip yang hatinya telah terpaut dengan seseorang. Tiga puluh tahun Re
hidup, baru kali ini orang tuanya mendengar Re telah jatuh cinta. Karena
prinsip Re itulah orang-orang mengkhawatirkannya. Re tidak mau merepotkan orang lain yang bukan darah daging Re, hanya
untuk menjaga Re. Aku bisa hidup tanpa orang bernama suami, karena Re masih
punya orang-orang yang sayang dengan Re. Egois memang, namun itulah Re.
Wanita bebal yang kini menaruh hati kepada anak didiknya.
“Bu
Rein, sudah bosankah memandang matahari terbenam? Aku akan melanjutkan
skripsiku di rumah.” tutur lelaki itu.
“Sudah
aku bilang, jangan panggil aku ‘ibu’ kalau di luar kampus, kamu ini bebal
sekali!” jawabnya tegas. Namun tak urung ia tersenyum juga. Re selalu senang di
panggil oleh lelaki ini, karena hanya Devin lah yang memanggilnya Rein.
Panggilan itu terasa sangat manis. Ah, jika sedang jatuh cinta, apapun menjadi
seperti gulali.
“Baiklah...baiklah
Rein... aku hanya akan memanggilmu Rein, karena hanya Devin yang boleh
memanggilmu Rein.” tutur Devin bangga. Re tersenyum menanggapinya.
“Gelar
sarjana psikologiku sepertinya harus dicabut.”
“Lho
kenapa memangnya?”
“Karena
kamu membuatku selalu lupa dengan kejiwaan.” tuturnya lalu pergi. Devin
terkekeh.
“Beruntungnya
aku bertemu kau Rein!” teriaknya.
Re
memutar badannya. Mata Devin menatap Re lekat-lekat. Hal paling membahagiakan
Re, mata itu membuat ia luluh. Teduh, itulah yang dapat Re simpulkan dari
Devin, apa adanya lelaki itu membuat ia menjadi seperti bidadari di dekatnya.
“Tapi
aku tidak bisa denganmu. Kita berbeda Devin, kita berbeda dan kamu harus tahu,
diantara kita ada dinding yang... “
“Harus
kita robohkan? Rein, sepenuh hati aku mencintamu.”
“Aku
tahu itu, tapi kita tidak bisa bersamamu, walau aku tahu aku menaruh hati
padamu.” jelas Re tegas.
Langit
mulai gelap, dua insan ini masih saling memandang, memancarkan cahaya dari mata
masing-masing. Namun satu cahaya perlahan meredup. Ya, cahaya itu dari mata Re,
wanita itu menunduk, air matanya perlahan turun. Ia tak sanggup jika harus
membangun dongeng bersama Devin. Berbeda. Itulah yang menjadi keraguannya.
“Berbeda.
Re dan Devin berbeda!” ucap Re parau.
***
“Aku mencintaimu Reinata!” ucap Haidan tegas.
Re terpaku, matanya menatap tajam Haidan yang kini sudah di hadapnya, membawa
kotak cincin yang isinya akan dipasangkan ke jari manis Re.
“Aku
tidak bisa!” jawab Re tegas. Kini ia sudah berbalik memunggungi Haidan. “Aku
sudah mencintai orang lain, dan orang itu bukan kamu Haidan.” lanjutnya.
Rahang
Haidan mengeras, tangannya sudah mencengkeram kotak cincin yang tadinya akan ia
berikan pada Re. “Apakah sesulit ini mendapatkanmu Re?”
“Dengar
Haidan aku pun mencintaimu.”
“Lalu
jika kau mencintaiku kenapa kau tidak menerima cintaku?”
“Karena
aku mencintaimu sebatas sahabat, tidak lebih. Maafkan aku Haidan, aku telah
memilih” tuturnya, lalu pergi. Meninggalkan Haidan yang kini berjibaku dengan
pemandangan menyedihkan di depannya. Separuh jiwanya tidak memilihnya.
”Walau pada akhirnya
aku tidak tahu harus aku yang mengalah pada nasib atau tidak”
ucap Re dalam hati.
Tubuhnya
melemas melihat sosok yang tergeletak di aspal jalan itu. Sosok dengan darah
yang melumuri hampir seluruh tubuh. Air matanya deras meluncur, tak kuasa hati
melihat sosok yang dicintainya berlumuran darah seperti itu.
“DEVIN!”
teriaknya. Re menggoncang-goncangkan tubuh Devin, ia tidak peduli dengan
banyaknya darah yang menempel di tangan dan pakaiannya. Yang ia pedulikan
adalah Devin, jiwanya.
***
“Semua
ini karenamu Re! Dia celaka gara-gara kamu, dia menentang kami gara-gara kamu,
semua ini karenamu!” Shi mencengkeram bahu Re kuat membuat Re meringis. “Kamu
yang memaksa Devin untuk mencintaimu, padahal dia tidak mencintaimu.”
“Aku
tidak pernah memaksa Devin, aku tidak perlu bersusah-susah bersama Devin jika
kami tidak sejalan, toh prinsipku masih tetap berlaku. Tidak akan merepotkan
orang lain dengan menjadi suamiku!” tegas Re. Ia memalingkan wajahnya, hatinya
perih.
“Sombong
sekali kau Re! Saya tidak tahu mantra apa yang kamu gunakan untuk menjebak
Devin kedalam hatimu!” ucap Shi tajam.
“Cinta datang bukan karena saya, tapi karena
hati yang memilih,” jawab Re tegas. “Anak anda bisa saja tidak jatuh cinta
dengan saya jika saya tidak mengajar di fakultasnya!”
“Sudahlah
Shi, tidak enak dilihat banyak orang.” ucap Satya menenangkan.
“Biarkan
semuanya tahu atas perbuatannya Sat!” elak Shi, matanya menatap tajam Re. “Saya
tidak akan menyerah untuk kebaikan Devin, dengar Re!”
Ada
yang perih di hatinya. Sama-sama mencintai namun ada pihak yang merasa
terhimpit. Sesulit ini jatuh cinta? disaat ia menemukan sosok yang bisa
melupakan prinsipnya, namun jalannya sangat sulit untuk disatukan. Mungkin
takdir tidak merumuskan keduanya untuk bersama.
***
“aku hanya akan
memanggilmu Rein, karena hanya Devin yang boleh memanggilmu Rein”. Ucapan
itu terus saja terngiang di otaknya. Sungguh, merindukan itu menyulitkan. “Akulah
Rein-mu Devin, kembalilah padaku walau sekedar memberi senyum padaku” ucapnya
parau. Isakkannya mulai terdengar, ia mengingat-ingat kebersamaannya dengan
lelaki itu. Ia melemah sekarang, dulu ia kuat dengan prinsip, namun kini
prinsip itu seolah terlupakan. Biarkan rindu itu terbawa hembusan angin
dermaga, biarkan bermuara kepada seorang Devin.
“Rein aku membawa gulali untukmu, kesukaanmu.”
“Ini
kau? em... bagaimana bis—?” Devin menginterupsi ucapan Re.
“Aku
akan jelaskan,”. “Kejadian kecelakaan itu tepat setelah Haidan mengungkapkan
perasaannya kepadamu, aku sengaja mencelakakanku sendiri, karena aku ingin kau
melupakanku,” jelas Devin. Tangannya mengeluarkan sapu tangan untuk mengelap
air mata Re. “Haidan sangat mencintaimu Re, aku sudah membuktikannya lewat
skenario ini, ya, aku hanya berpura-pura mencintaimu, benar kata ibuku,”. “Dengar
aku Rein, aku percaya cinta Haidan tidak pernah salah kepadamu, Aku harus
mengatakan ini kepadamu...”. Devin menghirup nafas dalam. “Aku tidak
mencintaimu Rein, bukan maksudku mempermainkanmu, semua ini untuk sepupuku,
Haidan, dia sama sepertimu, berprinsip. Dari awal aku sudah mengetahui dia
sangat mencintaimu Rein, maka dari itu balaslah cintanya, dan semua ini dari
Haidan, terimalah” Devin memberikan buket bunga dan gulali pink yang ia bawa.
Re
terpaku, masih tidak habis pikir dengan semua ini, “Ternyata dongeng kita
runtuh karena permainan ini, dan sejarah akan mencatat kisah romansa lagi yang
sangat membingungkan,” ucap Re lemah. “Ternyata kita hanya fantasi, bayangan,
dan hilang bersama dengan datangnya kenyataan,”. “Aku kecewa denganmu Devin, aku
pernah memendam perasaan kepada Haidan, namun ketika bertemu denganmu rasa itu
hilang.” Ucapnya parau. Suaranya bergetar karena hujan di matanya.
“Tumbuhkanlah
lagi rasa itu Rein,”. “Aku pergi, kau akan bahagia dengan Haidan, aku tahu kau kecewa.”
tutur Devin lemah.
“Pergilah
dari kehidupanku Devin, aku kecewa denganmu. Seolah kau sudah mempermainkan
hatiku, membuatku terlalu berharap, caramu seperti ini malah mengubur cintaku
kepada Haidan,” air matanya mulai turun lagi. Ada yang sangat sakit dari dalam
hatinya, padahal ia masih sangat mengharapkan cintanya kepada Devin. “Aku harus
mengalah kepada nasib.”
“Ya,
aku akan pergi, maaf aku mengecewakanmu, seharusnya caraku tidak seperti ini.”
tutur Devin. Ia telah membuat Re tergores, namun ini pilihannya, berkata tidak
padahal ia mencintai Re, hanya untuk sepupunya, Haidan. Kesungguhan Haidan
tidak sesempurna kesungguhan dirinya untuk mendapatkan Re. Keduanya harus
mengalah kepada takdir. Jika tidak ditakdirkan bersama, bisa apa? toh salah
satu pihak melarang, perbedaan pun sulit dirobohkan.
“Tapi
aku berterima kasih denganmu, karena kau, aku tahu mana yang benar-benar mencintaiku
dan mana yang hanya membuatku terombang-ambing,” ucap Re sarkastik. “Setidaknya
aku masih mencintai Haidan walau sebatas sahabat, karena cinta datang dari hati
bukan dari diri.”
“Izinkan
aku untuk mencintaimu Rein! Maaf karena kepayahanku untuk mendapatkan gadis
berprinsip sepertimu.” Haidan, ia sudah berada di anatara Re dan Devin. Matanya
menatap tepat pada manik mata Re. Re tersenyum walau getir menyiksanya. “Reinata.
Maukah kau menjadi titikku? dimana aku hanya akan berhenti denganmu. Membangun
dongeng nyata kita menuju Tuhan?”
“Kau
yang menjadi titikku, dimana aku menjadi kalimat yang selalu berakhir bersama
titik sekalipun tanda seru atau tanda tanya,” tutur Rein tersenyum. “Aku
mencintaimu Haidan”.
Komentar
Posting Komentar