Oleh : Evita Ardya
“Jadi lo pilih tinggal atau pergi?”
Suasana Kafe Putih sepi, di balkon hanya ada sepasang lelaki dan gadis berambut
coklat. Merasa pertanyaannya diabaikan, lelaki dengan kaos putih segera menutup laptop
gadis di depannya.
“Di,” panggilnya. Dian menatap lelaki di depannya, terlihat jelas bahwa Ia tidak
tertarik untuk menjawab pertanyaan tiga menit yang lalu.
Dian mengambil es oreo ukuran large yang terlihat masih utuh, “gue mau liat situasi
dulu, Sul.” Sul memainkan alisnya bingung.
“Sebenernya lo bukan mau liat situasi, Di, lo cuma mau kabur kali ini.”
Dian mendadak menoleh, “Kabur? Dari siapa?”
“Rama, siapa lagi?”
Dian enggan membalas perkataan Sul. Sul benar.
“Hahh,” Dian menghembuskan nafas kasar
“Kenapa kabur? kita tahu kalo Rama lagi enggak di sini.”
Dian memilih untuk tidak menanggapi Sul, “Balikin laptopnya.” Sul mengembalikan
laptop Dian yang baru dia ambil. Sul heran, “Emangnya kalian nggak pernah kirim chat?
Dm?”
“Nggak pernah, gue juga nggak ada niat buat main dm sama dia. Nomornya aja gue
hapus.” Sul memberi respon dengan gestur heran, aneh batinnya.
“Sejak dia pindah, gue juga jarang banget kirim chat. Bahkan udah dua tahun ini kita
nggak ada tuker kabar, gue pikir kalian berdua masih kontakan, Di.”
“Yah, apapun itu gue harap lo mau join sama anak kelas. Bukber kali ini bakal banyak
yang join.” sambung Sul.
“Iya, gue liat dulu.”
Setelah itu mereka kembali fokus dengan laptop masing-masing. Sesekali Sul
menggoda Dian yang dianggapnya terlalu fokus dan kaku.
Emangnya lo yang begini bakal ngundang dia balik lagi, Di? Sejak Rama milih buat pergi,
gue perhatiin lo cuma mau dia balik. Gue mau lo liat yang di depan sekarang, bukan cuma
nunduk buat liat bayang-bayang apalagi kejadian yang lewat.
“Sul,” panggil Dian.
“Sebenernya minggu lalu, gue dapet e-mail dari doi.” Sambung Dian, gue nggak tahu
harus gimana. Yang terlintas di kepala gue cuma, “Emang ini jaman apaan? Rama?? Rama
pikir ini kirim surat ala modern? Kenapa nggak dm aja? Aneh.”
“Gue juga heran,”
“Terus kenapa lo nggak bilang dari kemarin?”
Mungkin Dian pikir gue enggak perlu tahu sejauh itu. “Terus lo bales gimana, Di?”
Dian menggeleng.
“Gue yakin dia ikut bukber kelas. Apa gue bilang, mending lo join.” bujuk gue.
Sul di depan gue sekarang bener-bener bikin gue capek. Mungkin dia beneran mikir kalo gue
males join gara-gara nggak ada Rama. Padahal tahun lalu gue juga join meskipun Rama cuma
jadi bayang-bayang gue.
“Seandainya yang gue suka itu Sulaiman bukan Rama.”
Gue pikir emang kayaknya enggak bakal serumit sekarang semisal ramadan kali ini
bisa serius aja sama Sul. Enggak jarang gue ngebatin jalan alternatif kayak gitu.
“Iya juga, seandainya yang lo suka itu gue bukan Rama.”
Gue kaget setengah loncat, “BUKANNYA TADI CUMA NGEBATIN?!!”
“Dian, lo bukan lagi ngomong dalam hati.” kata Sul sambil lihat gue.
Bukan hal aneh lagi kalo di balik kata cap sahabat pasti ada yang berusaha nutupin
perasaannya, seperti Dian ke Rama, begitu juga gue ke Dian. Anehnya Dian malah enggak
peka dan kelewat bodoh.
“Benerkan, Sul? Kalo iya, pasti gue milih nikah aja sama lo sekarang. Di Ramadan.”
“Enteng banget lo ngomog, Di,”
“Tapi itu bener, bahkan semisal lo minta besok kita nikah, tancap gas gue mah. Kita
bertiga udah bareng layaknya keluarga. Kita ngaji bareng bokap lo, ustad Ari. Banyak deh.
Gue rasa, gue cukup mampu jadi imam yang baik. Haha, aduh gue kalo ngomong.”
“Hahaha, bisa aja Sul.” Dian ketawa, gue lihat mukanya sampai merah. Sejujurnya
gue penasaran apa yang bikin muka Dian kaya tomat. Dian yang sadar atau emang dia pikir
gue badut? Hahaha.
Sulaiman dan Dian masih terkekeh, keduanya saling menggoda, merajuk dan membujuk.
Sesekali Sulaiman mengadahkan wajahnya untuk menikmati awan di atas. Siapapun yang
melihat mereka berdua pasti mampu menyadari bahwa Sul menatap gadis di depannya
dengan tatapan yang tersirat.
Bersambung...
Komentar
Posting Komentar