Oleh: Feris Rahma Auliya
Aku pernah merasa jenuh untuk tinggal di rumah, yang sepertinya tidak lagi
menjadi tempat pulangku yang utuh. Setiap hari, ada saja perselisihan yang terjadi
di rumah kami. Entah saling berebut remot TV dengan adik, ibu yang menyuruh
membeli ini dan itu padahal aku sedang sibuk-sibuknya dengan tugas kuliah, atau
ayah yang- Ah sudahlah! Aku bahkan tidak pernah akrab dengan ayah. Dalam
sehari pun, belum tentu aku berbicara kepadanya. Hingga akhirnya kami
memutuskan untuk berbicara seperlunya saja. Tanpa ada kesepakatan, hal itu terjadi
dengan sendirinya.
Seperti itulah gambaran rumah bagiku. Rasanya muak. Aku ingin pergi.
Pergi jauh ke kota orang yang asing. Di mana hanya ada aku dan diriku. Itu saja.
“Hidup sendiri akan terasa damai dan baik-baik saja,” begitulah pikirku.
Pada bulan April yang bertepatan dengan bulan Ramadhan, aku berencana
merantau ke kota Blitar. Selain karena tempat kuliahku berada di kota Patria itu,
aku juga ingin menjelajah bumi, menyusuri jalanan Makam Bung Karno, dan
menikmati hidup layaknya orang dewasa yang mandiri. Sudah kusiapkan berbagai
baju ke dalam koper, peralatan untuk keperluan hidup, serta sejumlah uang yang
diberikan dari hasil jerih payah ayahku.
“Hati-hati ya, nak! Belajar yang rajin, sahur dan buka puasanya tepat waktu
lho, jangan sampai telat! Jaga kesehatan di sana. Apa perlu ayah sama ibu ngantar
kamu ke Blitar?” Ucap Ibu dengan nada penuh kekhawatiran.
“Enggak usah bu, aku naik bus aja. Aku bisa sendiri kok.” Jawabku
seadanya.
Aku pergi, meninggalkan kota kelahiranku untuk sementara waktu.
Sendirian. Mencari ketenangan yang barangkali akan aku temukan di Kota Blitar.
Sesampainya di kamar kos, aku menata barang-barangku ke dalam lemari
satu-persatu. Ini adalah kali pertama aku tinggal di kamar kos. Ruangannya
lumayan kecil dan sederhana, tapi sesuai dengan harganya yang terjangkau.
Sehari, seminggu, dan tidak terasa, dua minggu sudah aku berada di kota
Blitar. Namun, aku menyadari bahwa aku benar-benar seorang diri. Ramadhan kali
ini, ternyata rasanya sepi. Aku memang memiliki beberapa teman yang kebetulan
satu kos denganku. Akan tetapi aku merasa tidak sefrekuensi dengan mereka.
Apakah aku sudah kehilangan rasa sosialisasi akibat menjadi anak rumahan selama
bertahun-tahun? Atau mungkin memang seharusnya bukan dengan merekalah aku
menjalin sebuah pertemanan, karena aku selalu merasa berbeda. Adakah yang salah
dengan diriku?
Setiap hari, aku berbuka puasa dengan makanan yang aku beli di warung
dekat kos atau memasak nasi goreng dan sahur seadanya dengan mi instan, itu pun
kalau sempat. Begitulah aku dalam menjalani kehidupan di bulan Ramadhan ini
sebagai anak kos.
Pada malam hari, aku meneteskan air mata. Aku berpikir bahwa ternyata,
pernyataanku salah tentang “Hidup sendiri akan terasa damai dan baik-baik saja.”
Perselisihan kecil di dalam rumah lebih menyenangkan dari pada hidup monoton
dan kesepian. Aku merindukan keluargaku. Aku ingin pulang! Aku ingin Kembali
ke kota kelahiranku.
“Ayah, Ibu, adik! aku ingin bertengkar lagi!”
Tamat
Komentar
Posting Komentar